Rabu, 20 Juni 2012

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
“ MASALAH PENDIDIKAN DAN CARA PENANGGULANGANNYA “
DOSEN PEMBIMBING : Prof.Dr.Yohanes Bahari,M.Si
MAKALAH
Disusun Oleh :
ATUT KAMIL PRAGANA
F01110064
PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA


KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
DI INDONESIA
1.      PENDAHULUAN
            Selain tingginya angka buta huruf, putus sekolah, minimnya pembiayaan, dan rendahnya kualitas pendidikan sehingga kesulitan mencapai target MDG’s (Millenium Development Goal’s) dan EFA (Education for All), kekerasan dalam pendidikan menjadi problem terselubung yang bila tidak diselesaikan akan menjadi masalah serius untuk pendidikan Indonesia. Kekerasan dalam pendidikan bagaikan puncak gunung es atau dengan kata lain kekerasan dalam pendidikan merupakan masalah yang tidak pernah tersentuh.
            Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik, sudah lazim digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan kemiliteran itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini – istilah sekarang adalah kekerasan – juga ikut diambil alih.       
            Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian, seperti bodoh, goblok, kurus, ceking dan sebagainya.
            Selain itu, kasus-kasus kekerasan pendidikan yang kita ketahui dari berita-berita yang menyiarkan pelecehan oleh guru terhadap sejumlah muridnya, kemudian dilanjutkan dengan tawuran dan konflik fisik yang melibatkan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Kasus yang paling populer adalah mahasiswa IPDN berebut merampas nyawa orang lain. Tidak puas dengan menganiaya juniornya hingga tewas, mereka malah lebih berani lagi melakukan penganiayaan di luar kampus. Akibatnya seorang pemuda harus meregang nyawa. Ironis memang, karena kasus-kasus itu justru dilakukan oleh mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin negeri ini dan dilatarbelakangi oleh alasan yang sepele.
            Aksi tragis lain yang terjadi yaitu David Hartanto, mahasiswa Indonesia di Nanyang Technological University (NTU) Singapura menikam profesornya dan setelah itu diduga bunuh diri dengan meloncat dari lantai 4 di kampusnya, (Sumber: Pikiran Rakyat). Kisah sedih ini seolah menambah daftar panjang fenomena kekerasan di lingkungan pendidikan. Di tanah air, saat ini pun sedang marak pemberitaan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan para pelajar. Beberapa waktu lalu beredar video yang menggambarkan pengeroyokan siswa SMP di ruang kelas, perkelahian antargeng siswa perempuan, bahkan ada pula video kekerasan perkelahian dua siswa perempuan disaksikan teman-temannya dan seorang gurunya menjadi wasit.  Lantas, dari sejumlah kasus tersebut, timbul pertanyaan ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia ?
2.      PEMBAHASAN  MASALAH
            Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.
            Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah.
            Maraknya tayangan-tayangan kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun oleh siswa terhadap temannya, seharusnya mampu membuka atau menggugah hati kita sebagai seorang pendidik, bahwa tidak tertutup kemungkinan praktik bullying tersebut terjadi pula di lingkungan sekolah kita masing-masing.
            Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan.
            MOS dan OSPEK seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan senioritasnya. Dalam kegiatan ini, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan pada junior. Hukuman seperti push up, lari keliling lapangan, atau di jemur di bawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah lagi dengan bentakan para senior yang kerapkali membuat kecut hati siswa atau mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik dan mental. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, alasan sebenarnya hanyalah untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakukan senior terdahulu.
            Maka, pada masa-masa awal tahun ajaran, tak jarang terdengar ungkapan "Aku jadi panitia ospek nih, lumayan bisa ngerjain anak baru, dapat baju kaos gratis lagi". Tidak hanya sampai di situ, para senior juga mempermalukan juniornya dengan menyuruh membawa dan menggunakan dot bayi, mengikat rambut dengan pita warna-warni, memakai kaos kaki berlainan warna dan lain sebagainya. Semua atribut ini pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan tujuan awal di lakukannya MOS atau OSPEK, melainkan semata-mata sebagai alat untuk mengerjai junior, agar acara semakin meriah. Kedua kegiatan ini juga seringkali dirancang tanpa memperhatikan hal-hal penting yang mendukung aktivitas belajar, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menjadi ‘acara pembuka’ yang baik dalam memulai aktivitas akademis.
            Kekerasan dan pelecehan yang terkandung dalam kegiatan ini akan terus berulang setiap tahun apabila tidak segera dihentikan. Junior yang sekarang menjadi korban, akan mencari korban lain di tahun depan, terus dan akhirnya membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya. Sangat patut disayangkan, kegiatan semacam ini justru telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
            Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
            Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus.
            Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:
A. Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
            Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1.      pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2.       pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)
3.      Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;
Pasal 81
(1)     Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)     Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
                                                                 (UU Perlindungan Anak)
            Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
                                                                 (UU Perlindungan Anak)
            Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
B. Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
            Tindakan kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya, tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban.
            Adapun kekerasan psikis antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang lain.
            Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya si korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya.
            Dampak lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.
            Ditinjau dari psikologi perkembangan, Havingrust dalam Pidarta (2007:199) menyatakan bahwa perkembangan psikologi pada masa anak-anak adalah membentuk sikap diri sendiri, bergaul secara rukun, membuat kebebasan diri, membentuk kata hati, moral dan nilai, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial. Tentu saja perkembangan ini akan terhambat dengan adanya kekerasan dalam pendidikan.
            Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan menjadi kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses belajar anak.
            Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam pendidikan, tetap saja hal ini adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa.
C. Tinjauan dari Landasan Filsafat Pendidikan
            Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008,  yang  jumlahnya sebanyak 362 kasus.
            Begitu banyak kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan hal yang menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi di negara kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia pendidikan. Bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan sila kedua Pancasila. Segala bentuk kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai kemanusiaan khususnya hak asasi manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan mendapatkan konsekuensi hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di negara kita.
D. Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
            Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan hubungan yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika “budaya senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan khususnya dalam dunia pendidikan.
3.      CARA PENANGGULANGANNYA
            Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.
1. Tindakan alternatif
            Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.
            Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban penuh keterbukaan
            Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.
            Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya.
            Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang guru.
3. Komunikasi yang jujur
            Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.  Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.
            Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
4. Hormati Kebebasan dan Persamaan
            Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.  Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.
            Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.  Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.
5. Rasa kasih yang berani
            Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam keberanian.  Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.
            Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita.  Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu.  Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita memperbaikinya.  Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.
6. Saling mempercayai secara penuh
            Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga.  Alih-alih mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.
            Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.  Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
7. Ketekunan dan kesabaran
            Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.  Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak.  Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi.  Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.  Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan.  Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.
            Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya.  Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting.  Kita menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.
            Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.  Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain.  Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan perhatian.  Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
            Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu.  Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.  Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan
4.      PENUTUP
Ø Kesimpulan
            Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
            Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat. Hal ini dapat dicegah apabila guru melaksanakan 7 prinsip pendidikan tanpa kekerasan.
Ø Saran
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.         
            Kita semua berharap kisah-kisah suram kekerasan oleh pendidik dan orang tua secara umum tidak terjadi lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
-          www.borneotribune.com
-          www.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar